Rabu, 18 Desember 2013

Interaksi manusia adat Kajang dengan lingkungannya

Masyarakat adat Kajang dicirikan dengan pakaian serba hitam. Makna hitam ini menurut pemuka adat melambangkan kebersahajaan. Nilai kebersahajaan ini tidak saja dapat dilihat dari pakaian itu, melainkan juga terlihat dari rumah penduduk yang mendiami daerah dalam kawasan ini. Dari hasil observasi di lapangan diketahui bahwa tidak ada satupun rumah di dalam kawasan adat ini yang berdinding tembok. Semuanya berdindingpapan dan beratap rumbia, terkecuali rumah Ammatoa yangberdinding bambu. Tidak akan kita temukan satu pun di dalam kawasan ini rumah yang modelnya seperti yang sering kita lihat di perkotaan. Semuanya sama bahkan terkesan seragam mulai dari bentuk, ukuran, dan warnanya. Masyarakat adat 

Kajang menggunakan bahasa Makassar yang berdialek Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Olehnya itu, akan sangat sulit ditemukan orang yang mampu berbahasa Indonesia di dalam kawasan ini. Umumnya sebahagian besar penduduk tidak pernah merasakan bangku pendidikan formal, meskipun beberapa tahun terakhir ini telah didirikan sekolah tepat di depan pintu masuk kawasan ini. Sebahagian besar penduduknya bermata-pencaharian sebagai petani, tukang kayu dan penenun. Aktivitas ini pun dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tanpa ada kecenderungan mencari sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup mereka. Nilai kesederhanaan atau kebersahajaan inilah yang membuat masyarakat adat Kajang identik dengan istilah“Tallasa’ kamase-masea” atau hidup bersahaja. Tallasa kamase-masea ini tercermin dalam Pasang:


Prinsip hidup yang tertuang dalam “tallasa’ kamase-masea”ternyata menjadi salah satu alasan tetap lestarinya hutan yang ada di dalam kawasan adat Amma Toa ini. Ibrahim (2006) menjelaskan hal ini secara gamblang. “Prinsip hidup sederhana seperti Balla’ situju-tuju (rumah seadanya) mengakibatkan pemakaian kayu yang efisien, menjadikan hutan sebagai tempat yang multi-fungsi dan memiliki peran yang sangat penting dan sakral menjadikan hutan terjaga dengan lestari, meskipun bisa dimanfaatkan.” Bukti dari hal ini dapat kita lihat sekarang di dalam kawasan adat Amma Toa. Pepohonan ada seperti sedia kalanya, dan meskipun ada pohon yang tumbang dengan sendirinya, maka ia tetap tidak boleh diambil oleh masyarakat. Singkatnya dibiarkan begitu saja.

Selain prinsip hidup sederhana yang merupakan implementasi dari nilai-nilai Pasang, juga terdapat aturan-aturan pemanfaatan hutan yang juga berasal dari Pasang. Aturan-aturan ini secara jelas mengatur masyarakat adat Kajang dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungannya. Aturan itu pun lengkap dengan sanksi yang jelas dan tegas di dalamnya. Dan masyarakatnya pun patuh terhadap aturan-aturan itu hingga hari ini.

Senin, 16 Desember 2013

Pengaruh modernisasi terhadap suku Kajang

 Konon, suku Kajang adalah wilayah yang tidak tersentuh oleh kebudayaan dari luar. Ketika Kristen mulai masuk ke Toraja dan Islam dianut sebagai besar rakyat Kerajaan Gowa dan Bone, Suku Kajang tetap percaya dengan alam, bahkan terus menjaganya hingga kini.  Tanatoa yang mereka huni pun diyakini sebagai pusat bumi. Memetik buah pun tidak sembarangan, apalagi menebang pohon. Biarkanlah burung-burung berkicau merdu, memakan buah-buahan, dan menjadikannya sebagai penyebar biji-bijinya agar terus tumbuh di hutan lebat.  Jika dilanggar, hukum adat pun menghadang. Menebang pohon di kebun warga saja dianggap pelanggaran ringan, apalagi mengambil hasil hutan keramat yang dikategorikan pelanggaran berat.  Sangsinya bisa ringan berupa denda sejumlah uang sampai  hukuman berat yaitu diusir dari masyarakat adat.
 
 
 Masyarakat suku Kajang memiliki falsafah hidup yang sangat sederhana dan dekat akan alam sekitarnya. Mereka hidup dari berbagai hasil hutan dan menjaga kelestarian hutan dari keburukan tangan manusia. Hal inilah yang menyebabkan sehingga wilayah Kajang berkembang sebagai tempat wisata adat dengan alam yang sampai sekarang masih terjaga keasliannya, sama seperti halnya Wisata Kampung Adat Bena di Nusa Tenggara Timur.
 
Sekarang, Kajang menerima pengaruh modernisasi namun ada juga suku Kajang yang sama sekali tidak tersentuh oleh pengaruh modernisasi atau anti akan modernisasi. Oleh karenanya itu suku Kajang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kajang Luar dan Kajang Dalam. Kajang Luar adalah sebutan bagi warga suku Kajang yang sudah tersentuh kehidupan modern. Mereka umumnya sudah memiliki televisi, sepeda motor, mobil, dan peralatan elektronik lainnya. Rumah penduduk Kajang Luar berupa bangunan gedung yang sama seperti rumah kebanyakan masyarakat Indonesia. Sedangkan Kajang Dalam merupakan sebutan bagi penduduk suku Kajang yang menolak hal-hal yang berbau modern. Mereka merasa nyaman dan aman-aman saja dengan rumah dan perkampungan yang tidak berlistrik, jalan berbatu, rumah terbuat dari kayu, bambu, dan atap rumbia, bahkan mengitari perkampungan pun cukup dengan jalan kaki. 
 
 
Walau mereka terbagi menjadi dua kelompok, masyarakat suku Kajang memegang teguh adat istiadat yang telah diberikan oleh Ammatoa. (Ammatoa adalah sebutan untuk pemimpin tertinggi suku Kajang yang wajib dipatuhi segala aturan dan ucapannya)
Menurut kesediaan mereka menerima pengaruh modernisasi, suku Kajang dibagi menjadi dua, yaitu Kajang Luar dan Kajang Dalam. Kajang Luar adalah sebutan bagi warga suku Kajang yang tersentuh kehidupan modernn. Mereka memiliki televisi, sepeda motor, mobil, dan peralatan elektronik lainnya. Rumah penduduk Kajang Luar berupa bangunan gedung yang sama seperti rumah kebanyakan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Kajang Dalam merupakan sebutan bagi penduduk suku Kajang yang menolak hal-hal yang berbau modern. Walau mereka terbagi menjadi dua kelompok, masyarakat suku Kajang memegang teguh adat istiadat dengan cara mematuhi Ammatoa. Ammatoa adalah sebutan untuk pemimpin tertinggi suku Kajang yang wajib dipatuhi segala aturan dan ucapannya.
- See more at: http://tempatwisata.web.id/kearifan-wisata-adat-suku-kajang-di-bulukumba-sulawesi-selatan.html#sthash.sQcpsgDJ.dpuf
Masyarakat suku Kajang memiliki falsafah hidup yang sederhana dan dekat dengan alam. Mereka hidup dari hasil hutan dan menjaga kelestarian hutan dari perusakan manusia. Hal ini yang menyebabkan wilayah mereka berkembang sebagai tempat wisata adat dengan alam yang terjaga keasliannya, sama seperti halnya Wisata Kampung Adat Bena di Nusa Tenggara Timur. - See more at: http://tempatwisata.web.id/kearifan-wisata-adat-suku-kajang-di-bulukumba-sulawesi-selatan.html#sthash.sQcpsgDJ.dpuf
Masyarakat suku Kajang memiliki falsafah hidup yang sederhana dan dekat dengan alam. Mereka hidup dari hasil hutan dan menjaga kelestarian hutan dari perusakan manusia. Hal ini yang menyebabkan wilayah mereka berkembang sebagai tempat wisata adat dengan alam yang terjaga keasliannya, sama seperti halnya Wisata Kampung Adat Bena di Nusa Tenggara Timur. - See more at: http://tempatwisata.web.id/kearifan-wisata-adat-suku-kajang-di-bulukumba-sulawesi-selatan.html#sthash.sQcpsgDJ.dpuf
Masyarakat suku Kajang memiliki falsafah hidup yang sederhana dan dekat dengan alam. Mereka hidup dari hasil hutan dan menjaga kelestarian hutan dari perusakan manusia. Hal ini yang menyebabkan wilayah mereka berkembang sebagai tempat wisata adat dengan alam yang terjaga keasliannya, sama seperti halnya Wisata Kampung Adat Bena di Nusa Tenggara Timur. - See more at: http://tempatwisata.web.id/kearifan-wisata-adat-suku-kajang-di-bulukumba-sulawesi-selatan.html#sthash.sQcpsgDJ.dpuf
Masyarakat suku Kajang memiliki falsafah hidup yang sederhana dan dekat dengan alam. Mereka hidup dari hasil hutan dan menjaga kelestarian hutan dari perusakan manusia. Hal ini yang menyebabkan wilayah mereka berkembang sebagai tempat wisata adat dengan alam yang terjaga keasliannya, sama seperti halnya Wisata Kampung Adat Bena di Nusa Tenggara Timur. - See more at: http://tempatwisata.web.id/kearifan-wisata-adat-suku-kajang-di-bulukumba-sulawesi-selatan.html#sthash.sQcpsgDJ.dpuf

Minggu, 15 Desember 2013

Bentuk bangunan rumah Suku Kajang


Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya batu-bata. Menurut pasang, hal ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah. 

Apabila diperhatikan hal tersebut lebih jauh, maka sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan. Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan.

Sabtu, 14 Desember 2013

Konjo, Itulah bahasa keseharian kami

Huruf Lontarak
Bahasa Konjo, juga disebut sebagai Basa Konjo adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Kajang, penduduk Sulawesi Selatan, Indonesia. Bahasa ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia dimana penggunaan bahasanya 80% hampir sama dengan bahasa Makassar walaupun kadang dengan pengucapan yang agak berbeda.

Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin.

Huruf Lontara berasal dari huruf Brahmi kuno dari India. Seperti banyak turunan dari huruf ini, masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai. Huruf-huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah, atau di sebelah kiri atau kanan dari setiap konsonan.

Perbedaan penggunaan kata bahasa Makassar dengan bahasa Konjo :

Sumur
- Bungung (90% daerah Makassar)
- Buhung (Bulukumba/Konjo)

Pagar
- Pangngala' (Makassar)
- Kalli' (Bulukumba/Konjo)

Lempar
- Sambila (Makassar)
- Rembasa (Bulukumba/Konjo)

Contoh percakapan menggunakan bahasa konjo :
A : Hasma, Anre nu minro ? (Hasma, Kamu tidak pulang ?)
H : Anre pi, apa do ? (Belum, Kenapa ?)
A : eh, ngura na tala minro ko intu ? Lantang mi bangngiya (eh, Kamu mau pulang tidak ? Sudah tengah malam)
H : tette sikura mi do ? (sudah jam berapakah ?)
A : tette sampulo mi (sudah jam 10)
H : ohh, tayanga (ohh, tunggu saya)

Rabu, 11 Desember 2013

Semua hitam adalah sama

Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya.

Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.

Jumat, 06 Desember 2013

Melihat dari dekat suku Kajang di Bulukumba

Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa.


 Di Tana Toa, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng. Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan segala aktifitasnya yang masih terkait dengan adat istiadat.


Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.

Masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.