Masyarakat adat Kajang dicirikan dengan pakaian serba hitam. Makna hitam ini menurut pemuka adat melambangkan kebersahajaan. Nilai kebersahajaan ini tidak saja dapat dilihat dari pakaian itu, melainkan juga terlihat dari rumah penduduk yang mendiami daerah dalam kawasan ini. Dari hasil observasi di lapangan diketahui bahwa tidak ada satupun rumah di dalam kawasan adat ini yang berdinding tembok. Semuanya berdindingpapan dan beratap rumbia, terkecuali rumah Ammatoa yangberdinding bambu. Tidak akan kita temukan satu pun di dalam kawasan ini rumah yang modelnya seperti yang sering kita lihat di perkotaan. Semuanya sama bahkan terkesan seragam mulai dari bentuk, ukuran, dan warnanya. Masyarakat adat
Kajang menggunakan bahasa Makassar yang berdialek Konjo sebagai bahasa sehari-harinya. Olehnya itu, akan sangat sulit ditemukan orang yang mampu berbahasa Indonesia di dalam kawasan ini. Umumnya sebahagian besar penduduk tidak pernah merasakan bangku pendidikan formal, meskipun beberapa tahun terakhir ini telah didirikan sekolah tepat di depan pintu masuk kawasan ini. Sebahagian besar penduduknya bermata-pencaharian sebagai petani, tukang kayu dan penenun. Aktivitas ini pun dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tanpa ada kecenderungan mencari sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup mereka. Nilai kesederhanaan atau kebersahajaan inilah yang membuat masyarakat adat Kajang identik dengan istilah“Tallasa’ kamase-masea” atau hidup bersahaja. Tallasa kamase-masea ini tercermin dalam Pasang:
Prinsip hidup yang tertuang dalam “tallasa’ kamase-masea”ternyata menjadi salah satu alasan tetap lestarinya hutan yang ada di dalam kawasan adat Amma Toa ini. Ibrahim (2006) menjelaskan hal ini secara gamblang. “Prinsip hidup sederhana seperti Balla’ situju-tuju (rumah seadanya) mengakibatkan pemakaian kayu yang efisien, menjadikan hutan sebagai tempat yang multi-fungsi dan memiliki peran yang sangat penting dan sakral menjadikan hutan terjaga dengan lestari, meskipun bisa dimanfaatkan.” Bukti dari hal ini dapat kita lihat sekarang di dalam kawasan adat Amma Toa. Pepohonan ada seperti sedia kalanya, dan meskipun ada pohon yang tumbang dengan sendirinya, maka ia tetap tidak boleh diambil oleh masyarakat. Singkatnya dibiarkan begitu saja.
Selain prinsip hidup sederhana yang merupakan implementasi dari nilai-nilai Pasang, juga terdapat aturan-aturan pemanfaatan hutan yang juga berasal dari Pasang. Aturan-aturan ini secara jelas mengatur masyarakat adat Kajang dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungannya. Aturan itu pun lengkap dengan sanksi yang jelas dan tegas di dalamnya. Dan masyarakatnya pun patuh terhadap aturan-aturan itu hingga hari ini.
Selain prinsip hidup sederhana yang merupakan implementasi dari nilai-nilai Pasang, juga terdapat aturan-aturan pemanfaatan hutan yang juga berasal dari Pasang. Aturan-aturan ini secara jelas mengatur masyarakat adat Kajang dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungannya. Aturan itu pun lengkap dengan sanksi yang jelas dan tegas di dalamnya. Dan masyarakatnya pun patuh terhadap aturan-aturan itu hingga hari ini.
0 komentar:
Posting Komentar